Kabartambang.com – Pemerintah Indonesia terus memperkuat langkah menuju Net Zero Emission (NZE) 2060 dengan mengembangkan berbagai sumber energi bersih, termasuk energi nuklir. Dalam peta transisi energi nasional, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kini dipandang sebagai salah satu opsi strategis yang siap berperan penting dalam mendukung ketahanan energi nasional.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot saat menjadi pembicara kunci dalam acara BAPETEN Executive Meeting dan Penganugerahan BAPETEN Award 2025 di Jakarta, Senin (27/10/2025).
“PLTN merupakan salah satu opsi strategis dalam peta transisi energi nasional menuju Net Zero Emission 2060. PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan bagian penting dari perencanaan energi nasional,” tegas Yuliot.
Menurutnya, pengembangan PLTN sejalan dengan Asta Cita butir kedua dari visi Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya memperkuat pertahanan dan keamanan nasional, serta mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, dan pengembangan ekonomi hijau maupun biru.
Yuliot menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki visi pengembangan tenaga nuklir sejak awal 1960-an, diawali dengan pembangunan tiga reaktor riset, yaitu Reaktor Triga di Bandung (2 MW), Reaktor Kartini di Yogyakarta (100 kW), dan Reaktor Serpong di Tangerang Selatan (30 MW).
Pengembangan energi nuklir di Indonesia juga memiliki dasar hukum yang kuat, mulai dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Ketenaganukliran, hingga Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional.
“Dalam PP Nomor 45 Tahun 2025, PLTN tidak lagi diposisikan sebagai opsi terakhir. Seluruh dokumen kebijakan menegaskan komitmen Indonesia untuk mengoperasikan PLTN pertama pada tahun 2032 dan mencapai kapasitas 44 gigawatt (GW) pada tahun 2060,” jelasnya.
Dari total rencana tersebut, sekitar 35 GW akan dialokasikan untuk kebutuhan listrik nasional, sementara 9 GW diperuntukkan bagi produksi hidrogen hijau sebagai sumber energi masa depan.
Sesuai kebijakan energi nasional, porsi energi nuklir dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 5 persen pada 2030 dan meningkat menjadi 11 persen pada 2060.
Meski memiliki prospek besar, Yuliot mengakui bahwa pengembangan PLTN tetap menghadapi sejumlah tantangan, terutama dari sisi pendanaan dan waktu konstruksi. Satu unit PLTN membutuhkan investasi sekitar USD 3,8 miliar, dengan masa pembangunan sekitar 4 hingga 5 tahun.
Selain itu, kekhawatiran publik terhadap risiko bencana dan keselamatan reaktor menjadi perhatian serius pemerintah. Untuk itu, pemerintah memastikan akan menerapkan mitigasi ketat dan pengawasan menyeluruh melalui Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), serta memperkuat kerja sama internasional dalam menjamin keamanan dan keselamatan operasional.
“Dengan pengawasan yang kuat dan dukungan teknologi modern, PLTN akan menjadi solusi nyata dalam mencapai ketahanan energi dan mewujudkan transisi menuju energi bersih secara berkelanjutan,” tutup Yuliot.












